Lahan Terlantar dan Minimnya Kontribusi Sawit Dinilai Timbulkan Potensi Konflik

Diposting pada

SINTANG | Pojokkalbar.com-
Anggota DPRD Kabupaten Sintang, Nikodimus, meminta pemerintah daerah bertindak tegas terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah lama tidak beroperasi dan tidak memanfaatkan lahannya secara maksimal. Ia menilai, banyak perusahaan yang tidak lagi aktif, namun lahan yang mereka kuasai belum juga dikembalikan kepada masyarakat.

“Kalau perusahaan tidak lagi beroperasi, lahan yang ditinggalkan harus segera diserahkan kepada masyarakat. Jangan sampai dibiarkan begitu saja, sementara rakyat tidak bisa mengelola. Ini bukan hanya persoalan ekonomi, tapi bisa jadi konflik agraria kalau dibiarkan,” kata Nikodimus di Sintang, Jumat (4/7/2025).

Menurut politisi Partai Hanura itu, pemerintah semestinya lebih berhati-hati dalam menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU). Ia menilai banyak HGU yang terbit hanya berdasarkan usulan dari perusahaan, tanpa melalui kajian dan penelitian mendalam tentang status tanah maupun dampaknya terhadap masyarakat.

“Saya belum pernah lihat kajian teknis yang lengkap dalam proses penerbitan HGU. Ada perusahaan yang sudah tidak aktif, tapi lahannya masih terdaftar. Bahkan ada yang menggadaikan HGU-nya, padahal lahannya tidak ditanami. Ini praktik yang tidak sehat,” ujarnya.

Dorong Pengembalian Lahan ke Masyarakat

Nikodimus menegaskan, DPRD mendorong agar pemerintah menyiapkan regulasi—baik berupa Peraturan Bupati (Perbup) maupun Peraturan Daerah (Perda)—yang bisa mengatur mekanisme pengembalian lahan tidak produktif kepada masyarakat. Ia mengingatkan bahwa perusahaan seharusnya secara sukarela melepaskan lahan dari kawasan HGU maupun hutan, jika memang sudah tidak digunakan.

“Kita sudah minta sejak lama agar pemerintah menindaklanjuti. Kalau perusahaan sudah tidak operasional, ya harus ada tindakan konkret. Sertifikat lahan seharusnya dikembalikan dan diberikan kepada masyarakat. Tapi sampai hari ini, belum ada satupun yang kita lihat menyerahkan secara resmi,” kata dia.

Ia juga menyebutkan bahwa hingga saat ini ada sekitar 46 perusahaan perkebunan kelapa sawit aktif di Kabupaten Sintang, terdiri dari 16 grup usaha dan 11 pabrik. Meski demikian, kontribusi mereka terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih jauh dari harapan.

PAD dari Sektor Sawit Masih Rendah

Lebih lanjut, Nikodimus mengungkapkan bahwa sektor perkebunan sawit belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PAD. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pajak terkait sektor tersebut merupakan kewenangan pemerintah pusat, bukan daerah.

“Dari seluruh pajak yang ada, hampir tidak ada yang masuk ke kas daerah. Kita hanya dapat dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), itu pun hanya jika perusahaan mengajukan—dan itu bisa 35 tahun sekali,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa Kabupaten Sintang tidak memiliki pelabuhan ekspor, sehingga pemerintah daerah tidak bisa menarik pajak ekspor secara langsung. “Padahal, logikanya, daerah penghasil semestinya mendapatkan bagian lebih besar. Sayangnya, pembagian ini tidak adil,” katanya.

Untuk itu, ia mendorong Pemkab Sintang agar menyusun regulasi yang memungkinkan pengenaan retribusi lokal berbasis produksi, terutama dari hasil panen tandan buah segar (TBS). Menurut dia, potensi pendapatan bisa ditarik langsung dari pabrik pengolahan sawit, berdasarkan data timbangan produksi.

“Kalau kita ambil contoh, dari satu hektar bisa menghasilkan 2 ton per bulan. Kalau kita kenakan retribusi Rp100 per kilogram, maka per tahun bisa terkumpul pendapatan signifikan. Ini harus berlaku adil: dikenakan kepada petani mandiri, petani plasma, dan perusahaan inti,” ujarnya.

Nikodimus menyimpulkan bahwa jika langkah ini tidak segera diambil, maka ketimpangan antara luasnya lahan perkebunan dan kecilnya kontribusi keuangan kepada daerah akan terus berlangsung. “Kita tidak bisa hanya berharap janji. Regulasi harus ditegakkan, demi keadilan dan masa depan masyarakat kita,” katanya.(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *